Minggu, 26 Februari 2012

Menikam Cekam


Tuhan, angkatlah kepalaMu

ke arah sunyi hati

tidakkah aku terlalu tinggi

berada jauh di atasMu?


Semarang, 21peb12

Setelah Kutenggak Sebotol Puisi

:Puisi Dina Oktavia (rumah rumah bayangan)

Semalaman kugenggam sebotol puisi yang sudah kosong. Sayang, aku belum juga mabuk. Enam puluh empat sloki masih sanggup kuhitung. Kukumpulkan gelasnya seakan aku maniak puisi. Hampir tiap dentingnya mengayunkan luka di kepalaku. Bagaimana bisa perangkap ini ada padaku, halo??

Gempa bunyi mengguncang sinar pagi, ini Minggu, hari untuk Tuhanmu!

Liturgi gereja menjadi hal yang amat mekanis. Seiring kotbah Pastor pada jemaatnya, berangkat pula pikiranku menilik penjara-penjara yang hendak kudobrak dengan angin kencang. Malam telah memanaskan mataku yang terjaga, tapi bukan kantuk yang menyerang konsentrasiku. Aku seperti penderita ADD (Attention Deficit Disorder) tanpa Ritalin. Menipu orang dengan sikap diam penuh perhatian, sementara imajiku selalu pulang ke palung surga. Ya, palung surga yang kutemui sejak kanak-kanak.

Para lelaki telah mencangkok otaknya dengan laptop keparat. Membedaki wajahnya dengan kertas kerja. Semua setelah mereka memohon padaku, agar kutelanjangi sebuah patung peraga dengan tanganku, lalu mereka pergi, membiarkannya menggigil. Aku terlantar di mimpi-mimpi.

Atau mungkin aku tak lagi kekasih, sejak sepakat bersama. Aku terlalu ingin tahu, antara beban dan semangat, dimana aku didudukkan. Aku begitu egois, untuk pahami bahwa semua itu bukan akar persoalan.

Emosi bagai dongengan tak tepat diksi. Kita dalam jebakan keliru tafsir. Makin parah dengan serapah. Air mata berserakan di antara huruf-hurufnya. Aku terlantar di rindu-rindu.

Siapa hendak minum bersamaku.
Lagi.
Sebotol puisi yang sama
Lagi.
Bersama aku.

Aku butuh mabuk.

Kesadaran selalu menyeretku ke sebuah kapel di desa kecil. Betapa menggiurkannya simpul tambang yang mengikat sebuah lonceng besar. Ia mengelus leherku yang sunyi. Air liurnya siap menaikturunkan tubuhku seiring gema lonceng tanda doa-doa segera dinaikkan.

Aku diam-diam terlukai terkulai. Pulang ke palung surgaku.

Misa selesai.

Sepertinya tadi aku ikut bernyanyi, dan saling memberi salam damai. Sepertinya aku berjalan untuk sambut komuni. Sepertinya aku mengunyah hosti itu tadi. Sepertinya aku masih selalu cemberut, karena tak kebagian anggur. Sepertinya juga, anakku sempat merengek mencium pipiku. Semua rentetan adegan sayup-sayup berseliweran, acak. Tulang tengkorak terpelanting, pening.

Sebotol puisi semalam, telah membuat mabuk patung peraga.

Di rumah Tuhan, aku memuja kesendirian.


Semarang,5feb12

Rosario

: Mpok Mercy Sitanggang


Terasa dingin di ujung jari,
sentuh butir-butir rosario,
sentak sadari
telah kugenggam roh
punyamu, ini.

Ini seperti pusaka
yang kau wariskan pada
seorang asing yang kau jumpa
di tengah perjalanan
menuju Emaus kita.

Aku raba tiap butir batu
mawar air mata
bulir kehidupan
galau tawa
sukadukacita
getir keramaian
mahkota duri
piala kesepian
cawan kosong
uap anggur
pecah roti
tapi bukan, ciuman Yudas.
Ya. Bukan.

Demikian lama aku kehilangan ibu,
lalu kuhilang-hilangkan semua ibu
dalam hidup, yang bugil kacau.
Kau tarik tanganpetangpedangku,
kau paksa ia masuk ke genggamku,
serahkan padaku kisah yang kau
kawani selama ini,
segala mewujud kalungdoa
layu jatuh tak pantas,
bisa apa aku?

Ini serupa nyawa, sulit kubiarkan.
Mata minta aku merawatnya.
Pelukan percaya.
Sekuat-kuat ucapan,
kerelaan tak terperikan.

Bisa apa aku?

Katamu masih ada ibu,
selain ibu dari jari yang tuntun aku
merangkak pelan menuju
berbutir butir batu
cairkan gelap
terangkan pengap
kuketuk ketuk
tanpa amuk tiada kantuk
untuk
tabah rebah di dada Ibu,

Maria.


Semarang,24Jan12

Sabtu, 04 Februari 2012

Cuaca Malam Minggu

cinta tak pernah salah
sayang,
tak selalu tepat

cinta selalu tepat
sayang,
pernah salah

datang


Semarang, 05Peb12