Rabu, 31 Maret 2010

Selamat Ulang Tahun, Kita

: Abraham Maslow

Tengah malam kita janjian,
sekedar tiup lilin peringatan.
Kau yang ternama, aku si jelata,
hanya berdua.

Kita bertukar kisah serupa
masa masa sakit,
perih mendesir dari
mereka, yang lahirkan kita.

“Haus cinta merupakan
sejenis penyakit
karena kekurangan,” katamu.
Itukah sebabnya cinta bagimu penting?

Sejenak kita diam tertegun,
menuju ingatan cinta
yang pernah rusak
oleh rasa takut.

Kikuk. Kita berpelukan,
hadiah paling sayang paling manis.
Aku jatuh cinta dan hormat,
pada sebentuk jiwa humanis.

Bimbinglah aku menuju,
piramida tertinggi kebutuhan
yang kerap ajari aku jadi manusia
masak dan penuh,
sambil
terseok, kan kubenahi juga
semua kebutuhan terdasarku.

Selamat ulang tahun, Tuan.
Hari ini, adakah kau bahagia
di surga sana?

2010

Abraham Maslow, Tokoh Psikologi Humanistik. Lahir, 1 April 1908.
Dikenal dengan teori hirarki/piramida kebutuhan manusia yang terdiri dari 5 tingkatan.

Rabu, 24 Maret 2010

Buku Harian Semesta


ku entah ku tulis apa tuk jiwa jiwa bebal berkain keras hati tanpa nurani tajam menghantam sepi sepi tubuhku yang sempat meranum dibuai kasih mereka mereka yang telah coba coba wariskan keteladanan penuh tekad selamatkan ku penuh seluruh berkali kali bagi makhluk bumi yang entah bagaimana tercuri oleh manusia manusia tamak tak bermuka telanjangi tepi tepi jiwa ku siap siap kau sebut murka padahal bukan ku punya darah tapi kau tak terarah

pernah kah kau peduli akan ada ku?

pernah kah kau peduli akan ada ku dan aku
lain
yang tinggal bersama

mu?


2009

Ada Aman Tak Tenteram


CintaiMu, dengan caraku.

Bolehkah?

Atau hanya dengan caranya,
yang katanya adalah
caraMu.

Caranya bukan caraku tapi hanya caranya katanya caraMu
jadi caraku bukanlah caraMu
karna hanya caranya yang adalah caraMu
tapi caranya yang katanya caraMu
siksasiksa batinku

Tak bisakah?

cintaiMu tanpa caranya.

Tapi kuharus ikuti caranya, biar dunia
tahu kami sangat cintaiMu. Habishabisan kami mencinta,
darah dan jiwa berserah

hoooh
Tubuh ringkihku
kutemukan di selangkang gajah.
Kecil.Terhimpit.Sesak.Hampa udara.
Bau.

Belum jua kubebas beri
caracaracaracaraku
mencintai
Mu.


2004

Selasa, 23 Maret 2010

Bisikan Kekasih

:Teddy Delano


Kekasih hati,

Aku tak ingin tinggalkanmu,
tak kan.
Aku tak pernah lalai,
selalu.
Aku ada di seluruhmu,
segala.
Aku tak pernah mati,
tidak.
Aku tak pernah lari dari tanggungjawab,
tak mau.

Sedikit saja kau perhatian,
kebahagiaan ini lebihi luas alam semesta.
Tak perlu dirimu kuatir, bahkan
saat kau sedang asyik
bercengkerama dengan dosa.

Kubawa itu sebagai janji, laksana kertas tersaput kanji.
Erat merekat tanpa henti, kuat melekat bagi hati.
Kudekap kau hingga setelah mati.

Sebagai Kekasih yang kau sebut Maha ini,
Kutahu kedalaman hatimu,
yang kini melonjak bahagia, namun terkadang
ragu akan Aku.


2009

Rasa yang Duduk Disampingmu

:Inez Pecia Zen

mengapa aku begini sedih
lihat duka tepuk bahumu
beruntun tak mau tahu
kembali kala pertama disapih

mengapa aku begini sakit
menyatu dekat pada derita
di sabarmu yang makin renta
bahagia serasa makin sedikit

mengapa aku begini pedih
pandangi kau bergelut makna
berdiri bangkit, lalu kuat menganak
sedang dadamu tersayat perih

lalu, mengapa aku begini murka
tarik dirimu cari keadilan
ketegaranmu itu samudera
bening hatimu bukan buatan

ah, kurayu saja Tuhan
peluk engkau jalani proses menerima
lalu lekas ajak kau ke masa depan
saat kautemukan dirimu mengaca

lalu puas tertawai
dukamu pada kini


2009

Kepada Langit, Kukirimkan Bumi

:sahabat kecil, Airlangit Savana dan Puan Swasti Bumi

berselimut pagi petang
beralas darat lautan
berpayung matahari bulan gemintang

rangkulah sedih sepi setia bersama
urai luka dukanya hidup
lalu tebarkan lekas sepenuh tawa

bertengkarlah dalam diskusi mendewasakan
demi gelisah akan kebenaran
tanpa terbawa belenggu rasa

jadilah pembawa damai dimanapun
bagikan harapan suci
pada alam semesta dan seisinya

Wahai Langit dan Bumi,
bersekutulah senantiasa
nikmati tugas kehidupan


hingga kelak,
langit dan bumi
menyatu


2009

Rekonsiliasi


perhatikan petaka yang sudah kalian ukir atas hidup kami :

setelah dengan congkaknya kalian rampas tanah kelahiran kami
juga kalian bunuh serentak leluhur yang melahirkan kami
tak luput bayibayi kecintaan kami yang baru lahir
juga belum puas kalian perkosa jalan lahir kami

kami hidup dalam kubangan luka menganga
tak habis dimakan usia

kini,
tanyakan pada semua orang suci milik kalian
setelah semua ini
bagaimana cara kami

mengampuni yang tak terampuni


2009

Tiba Tiba 2

perjumpaan dengan Chaz!

kini, berapa mozaik kisah telah kita lompati
aku sungguh tak menghitung waktu, hingga
tibatiba
kau dalam sapaanmu mengelus kenanganku
akan persahabatan kita,
akan riuhnya kegembiraan berurai duka
saling jadi wadah sampah, yang
selalu bisa mendaur ulang
kunantikan saat bahagiamu, dan
kami lihat kau telah bahagia
bersama kekasihmu, yang kau petik
tibatiba
melenyapkanmu dari ukiran kisah kita
kami sedikit kehilanganmu, tapi
kami saling mengobati
sungguh
tibatiba
musik yang kau mainkan
terlalu jauh gaungnya bagi telingaku
masihkah kau dalam genggaman angin
yang sesekali mengibarkanmu keras, dan
kadang membuatmu oleng
masihkah kau dalam keterbatasanmu
berkawan dengan rasa sakit
namun tetap menjadikannya milikmu
asal kau masih sama, dan
kau masih saja
sama
dalam emosi yang tak kentara warnanya
dalam katakata yang tak menggema
dalam jingga jiwamu yang terbungkus kabut
dalam letupan hasrat yang tak jua kau tunjukkan
tibatiba
kau sulam pintu kesadaran kami

segala yang hidup, memiliki
udaranya sendiri.


1999, jumpa sekilas di tangga kampus, siap-siap mau kuliah, beda kelas,wis suwi ora pethuk!…

Tiba Tiba 1



akhirnya, dari sini dapat kulihat

heningmu yang begitu senyap, dan

tawamu yang tak seutuhnya

selama derai waktu ini

adalah gelisah rindu

merangkul helai jiwa kekasih, yang

ingin kau nyanyikan

tibatiba


Kampus, 1999

Pena yang Kosong


melilit kedewasaanku menggugat jenuh
dalam satu jalan tanpa nama
tapak kaki melebar menutup seluruh jengah,
yang menggelegar sayu

sayupsayup suara rindu yang tipis, menjadi biasa
tertimpa usang
semilir angin adalah sudah semestinya,
juga warnawarni bunga bukanlah pelangi,
pelangi tak seharum cinta,
cinta sudah kosong.


2004

Kulihat Samaran Gundah di Wajahmu

:Chaz

kau duduk pada malam sendiri
pandangi langit yang bukan biru
sadari hidup kini berjalan di kakimu
kurang indah dan sedikit berdebu.
mentari jadi terlalu bercahaya, dan
sinarnya tak mampu menghiburmu
kau hanya yakin satu, hidupmu sudah hancur
terbakar oleh teriknya
lalu kau lihat jalan menjauh, dan
sedikit tergoda tuk berada
diatasnya.

hei, kawan!
birunya kehidupan takkan pernah tersapu indahnya
meski debu kelabu bersarang di dalamnya
karna pelangi adalah harapan
kepada siapa
kita ingin berpihak …

kelak lagi,
jika kau temukan dirimu dalam
pelukan badai
jangan jadi ragu dalam tangis yang murka
injak dunia dengan caramu
karna kau adalah dirimu
dan bintang itu selalu ada untukmu.
untukmu.
untukmu.


Bandungan petang, rapat kafe daun, 1997

Hari Ulang Tahun Ibu


Aku dalam lingkaran,
makan siang spesial bersama orangorang penting.
Sebentar diam, sebentar bicara.
Restoran mewah, masakan Eropa,
cara makan kelas atas. Duduk rapi, bicara teratur.
Wah, ulang tahun betulan nih, goda hatiku.

Diamdiam aku mencuri
suasana ini jadi perayaan pribadiku.
Tak apalah asal sebentar. Sedikit bermanja dalam imaji.
Toh, aku masih sadar ini acara kantor.

Pulang kerumah, Putri Kecil caricari pelukku.
Ingin bicara lewat matanya yang berkacakaca.
Tangan kirinya terkilir. Menahan sakit seharian.
Tak mau makan, pun minum susu.

Ah, beginilah sejatinya.
Sebagai pekerja, aku dimanjakan imaji.
Sebagai ibu, aku ditempa realita.

Ah, beginilah adanya.
Duhai perempuan tegar,
Keluarlah kau dari persembunyian.



2009

Happy Birthday, Don't Cry

:adikku, Jeppe Indrawisudha

dek, saat ini kubayangkan kau menggila disana
tak ada tarian, pun nyanyian
bahkan harapan yang tadinya kau daraskan indah
jatuh terlempar di lantai rumah sakit

ulang tahun pestamu,
nikmati hidangan sebegini getir
menatap ia yang kau cinta
kesulitan bertepuk tangan
bahkan dalam alunan yang senyap sekalipun

mari bersedih, lalu tersenyum
ada Langit dan Bumi diantara kita
meski terjatuh, bahkan terjerembab
terus semangat menerima hidup

dek, kalau kau ingin tahu siapa Tuhanku,
Ia adalah alam semesta dan penciptanya
idolaku tetaplah Yesus,
meski ringkih hubunganku dengan agamaku
juga meski aku tak punya agama

jadi, dalam kesesahanmu
aku berdoa dengan caraku
alam semesta dan Sang Pencipta
pasti bersekutu beri pertolongan
sambil aku menapak tilasi
perjalanan Yesus yang penuh luka
agar menyelipkan kekuatan
di batinmu yang diiris bimbang sejenak


2009

Tabula Rasa













2009

Terpaku Pada Kosong

:Ani Ismawati

dingin memaku seri bibirmu
dorong hati pucat, sentuh segala
ribuan kehidupan lalu terbaca jelas
tersapu nafas yang terpaksa
kini mulai ketukketuk
denting jantung perdetik
untuk diserahkan pada malam

tanganmu menjulur pada daun berembun
beningnya menggulir menggelitik mesra
pada kokohnya dahan: kilau lengan dan
hijau menganga
berpandangan rindu yang mengakar

matamu menyapu langit
kumpulkan segala bintang yang sendiri
satu demi satu dalam lapang hati bening
hingga kehidupan lepas menindih bumi

kakimu menjejak laut
bermain makhluk di dalamnya
haus menuntut deru candamu
kauberi dalam kelam airmata duri

tubuhmu beku seluruh
kala satu titik kosong hampiri lelahmu:

bahwa embun lari menguap tinggalkan hijau
bahwa bintang hanya ingin dipandang, dan
bahwa candamu telah runtuh dalam takdir yang ditentukan
oleh keruhnya kehidupan


Semarang, April 2004

Senin, 22 Maret 2010

Koreng Seorang Bawahan


Pada kalbu yang lelah mencari nyala untuk mengikat lesu,
seorang di bangku atas mulai mencabik lukamu pagipagi,
esok giliran kawanmu yang kuyu. Siap berbaris.

Suaranya riuh menyumpal telinga yang mulai bernanah
hampir di setiap dentuman dua per tiga harimu. Tak jarang dari kerongkongannya
menyembur keluar segala sampah berbau busuk siap dikerubungi lalat hijau kemayu.
Kau benci pada baunya yang setiap saat suntiksuntik bawah sadarmu yang mulai memuncak. Tak sanggup terkunyah dalam keringat hambar tak berbuih.

Ada saatnya. Kawankawanan mabuk saling memuntahkan segala kotoran dalam parit kemelaratan yang tersimpan membusuk, jatuh dalam pelukan ketakberdayaan, lalu digiling lagi jadi makanan sebagai santap makan malam di pesta penuh luka.
Ada kalanya. Sisanya kau bawa pulang dan kau bagi bersama anak dan istri bermata sayu. Bawa berlembar kertas pengharapan yang lusuh lembab oleh dinginnya kabut malam yang titik airnya telah ditujukan bagimu.

Oh, tidak.
Tak mampu kau lawan itu, karna lidahnya akan segera menjulurkan api pemecatan bagi siapapun yang berani berpaling. Berkalikali lagi, kau terseret dalam arusnya. Dalam kepalan tangannya, hatimu mendesah kelu,

“Ah, nasibku, terpaksa aku titipkan…”


2004

Ini Tanah Milik Kami


Lalu,
kalian duduk pada batu negeri kami, dalam keseragaman yang mempesona, berpendar bintang kepahlawanan dari tempatmu berasal.

Lalu,
cakrawala berduri bagi bumi yang terpijak gelayuti ruang kosongku. Matademimata menghunjam lekas dan kuat, caricari air dalam mata kami yang puas kau teguk setiap waktu penuhi hausmu segera.

Mengapa hanya ada satu rentetan teriakan yang kau torehkan bersama desingan peluru gila, “ Serang. Serbu. Bunuh. Hajar sampai mati!” dan kau tentukan kematian dalam genggaman tanganmu yang berjari doa?
Kau gesek segala nyawa yang tak selalu musuh. Dan. Sungguhkah musuh adalah musuh, jika dari dirinya terbayang wajah ketakutan yang guratan apinya persis seperti punyamu.

Tapi tenagamu masih juga kau uji tuk akrabi tanah yang meronta kau peluk. Sesungguhnya kau tahu, bahwa kekuasaanmu hanyalah demi lariklarik puisi pucat bertabur kemilau intan berminyak, yang kau ungkap dalam lariklarik puisi doa dan kehidupan.

Oh, tanah negeri kami.
Lihatlah, ia selalu berlarian memburu dada kami yang mulai hangus oleh kuatnya cinta. Dalam kebersamaan, kami saling berpelukan, bercengkerama dalam candanya yang hijau, dan segala wajah kami menjadi cokelat keemasan ditimpa akar kerinduan.

Biarkan kuikat raga dalam timbunan tangisnya yang mengikat petir.
Ini tanah memang milik kami.


2004

Bu, Apakah Kau Ingin Tahu?


apakah kau ingin tahu, bagaimana aku mendewasa?
aku mendewasa oleh lintasan waktu yang tak kumengerti
tanpa ampun, cari dan temui mimpi. sendiri.
tak ada kau
tak ada kau

aku berada di sudut sudut pasar, mencincang harga diri
demi sisa citacita yang hampir terenggut
jatuh terseret mimpi memeluk pundi
sendiri. sendiri. dimana kau?

aku bertahan di tepian terminal, kumpuli peluh menelan sabar
telateni pagi petang yang panjang
demi masa depan yang terlihat remang
kau? mengapa tak beri kabar?

aku tidur dimanamana kemanamana, caricari kasih
dari kasih kucari harap dari harap kucari damai
sesekali kudapati aku tertinggal diantaranya
belas kasihmu, kemana?

aku nangis sambil mengais kabar tentangmu
yang tak pernah datang dari dirimu
aku pergi ke segala penjuru
nelangsa kesepian aku, mengadu pada rindu

ngertikah kau, bagaimana aku mendewasa?
diantara waktu waktu yang hilang dan terbuang
tentangmu ya, tentangmu di hidupku
senyatanya, tak ada aku di rindumu
tak ada aku di doamu
tak ada

jadi, pahami dan terimalah kini,
aku mendewasa bukan karna kau
kita hanya terikat oleh takdir
dan aku,
sanggup merubah nasibku. sendiri.


2010

Tak Hendak Aku, Ibu


tak hendak usir,
aku hanya coba bersihkan
remah remah kotor di lantai
dengan sapu kebaikan

tak hendak usir,
aku hanya nyalakan kipas
datangkan sejuk dari panas
jauhkan kayu dari api

tak hendak usir,
aku hanya taburkan wewangi
biar ruang pengap berakhir
segala yang singgah melihat damai

lama kudamba hari ini
sejak ku masih kuncup
dan nyaliku begitu ciut
semangatku layu tak henti

aku hanya ingin, sekali saja
hancurkan aku si peragu
lepaskan diri dari belenggu
demi merdeka

biar,
biar mendung
bukan pembawa murung
biar gerimis
bukan pertanda tangis

maka,
tak hendak aku, usir dirimu
aku hanya tak punya hasrat
tuk menahan pergimu

ibu


2010

Hilang Ibu


ibu sudah hilang
pagi pagipagi pagi gelap buta
ibu itu ibuku hilang
mata harimau mulut kucing
tercoret luka ulu hati membengkak

bayang ibu tak sampai mati
tapi kuingin dia yang mati
tetekmu hambar tak ada susu
susu pahit lagi beracun

ibu kelabu dibalik kelambu
bermain selangkang terus mekangkang

jiwaku robek beribu jahitan
kakiku, tertanam milyaran pasir laut
payah berlari lekas tergesa
caricari ibu
yang kuingin hilang

mana dimana mana kemana
mana mengapa mana bagaimana

ooouuuhhhhaaaayyyy

hati belatung lalu seribu bunga
bunga seribu lalu belatung hati

yang punya cuma kau
cuma kau yang punya
yang cuma punya kau


2004

Perempuan Singa


tak pernah nyaman berbagi denganmu,
ibu
pada murkamu yang garang
kau serukan bilik bilik rahasia
milikku

egoku menguncup malu,
pilu sejadi jadinya
pada diriku si peragu
setia tertahan amarah yang kuyu
: aku benci dirimu

harusnya aku tahu
uban dikepala tak pernah mampu
paksa hatimu tuk sejenak bijak

harusnya aku juga tahu
bersamamu
sebentar domba, lalu mengaum

ah,
mengapa singa tak pernah mengembik


lagi,
anganku tertepis badai

ke dekatmu

ke dekapmu

sia sia


2009

Merindui Ibunda


. . . . a k a n k a h k a u j a d i d u r h a k a ,

b i l a k u t e r i a k k a n k u t u k a t a s m u . . . .



2009

Emak Datang Tengok Anaknya 2


maafkan aku, Mak
dukaku belum semerah kau menangis
belum kumampu beli
kesenanganmu ingin kuberi
oleh-oleh bagi cinta tak terperi
karna keringatku belum sebening kau mengais
bahkan untuk sekeranjang salak

mata seorang anak memelas
mata seorang ibu penuh welas


2004

Emak Datang Tengok Anaknya 1


kau tiba pada kota tempat kurantau
dalam bayang kasih seluas kalbu
dalam balutan kain teduh menghijau
dalam segunung tanya berpeluk harapan rindu

cemas seorang ibu membiru

sayapku masih rapuh, Makku sayang
burung yang baru belajar terbang
belum ahli mencipta sarang
masih takut langit yang garang

resah seorang anak mengerang

jika kembali ke rumah
tolong kabarkan pada Abah
darahku tertanam pada pasir megah
tak mudah diancam rebah

tekad seorang anak membuncah
tangis seorang ibu yang cerah


2004

Tanah Tumpah Darah


manakah mungkin
aku mencari sehelai nafas pada tanah berbangkai pilu
sedang menatapnya, tak ada beda dari menciumi darah leluhur
ketukketuk kuat nyala kepala pada ingatan yang dingin
ketika angin bergigi tajam cabuli tubuh, robek kesucian
hapus lekas jiwa yang bergentayangan, masih mencari
jati diri yang belum usai, bertahan tuk satu genangan
tanah air yang anyir
sarat gundukan cintalukadendam, membengkak
oleh pukulan api tajam bertubi, hingga puas tentukan
tumpahan darah, yang tandai tanahku, atau
tanahnya, atau
tanahmu,

mengapa tidak tanah kita.


2004

Kepada Tuhan dan Penyair


tolong

jangan jadikan aku sahabat
apalagi kekasih

jangan hendak pinang aku
jadi pendamping

aku tak sanggup
menatap mata
basah penuh cinta
harus dibagi

atau kulihat
tubuh tubuh mereka
bergelayut mesra di lengan
yang rakus kupeluk

atau bibir bibir kering
dan gusar, habis ciumi
wajah sepi
mata sunyi
duh,
lidah senyap

aku belum sanggup
matikan ego
menuntut penuh peluh
bagi diri

aku hanya pencemburu berat,
dengan hati compang camping,
masih sulit kulepas
kata ranum mata sayup
yang membisiki telinga
agar terjaga akan sabda,
'cintailah sesamamu 
seperti kamu
mencintai dirimu 

sendiri'


2010

Minggu, 21 Maret 2010

Menjenguk Ibu


ibu itu bukan ibuku
selang selang entah
tusuk tusuki tubuh
keras dan kaku
belasan tahun yang layu
mata jadi tanda hidup
kata kata ganti dengkur

ibu itu bukan ibuku
uban mengelus rambut
keriput memeluk kulit
senja menyapa senyap
wajah ibu tidur disana

aku

tersentak oleh rindu
pada bentakan ibu
pada pukulan ibu
pada tendangan ibu

bu,
demi bilur tubuhku
demi lebam jiwaku
demi ungu darahku

datang dan rajamlah
anakmu


2010

Jumat, 12 Maret 2010

Y. B. Mangunwijaya (Mimpi Bertemu)


sungguh,
aku tak pernah tahu, bahkan bertemu, bahkan bercengkerama
tertidur berpeluh mimpi, suatu malam yang sembunyi
dalam buaian halus sayap sofa violet

manusia berwajah samudera,
keluar dari penjara yang terpaksa
ditandu puluhan pemuda berwajah dendam dan kasih,
setelah para domba bersisik ular itu menyiksa tubuh ringkihnya
memotong acak benang putih rambutnya
dengan semangat api setia teguh, para pemuda itu
menggendongnya sehangat sayang
melekat erat dalam raganya, hingga pada suatu persimpangan
matanya dan takutku beradu, membawanya berhenti tepat di depanku
sedekat mataku ia berseru lantang,
sambil tangan kanannya terkepal mengacung
“ Sampai kapanpun, perjuanganku takkan pernah berakhir!”
dada ringkih membusung berlalu pergi
para pemuda bersitatap dengan nafasku satusatu
lalu dari sudut aku berdiri, kulihat jelas kedua kakinya yang menggantung
tanpa tungkai dan telapak!
kurasa sangat dengan hati pedih, domba bersisik ular itu
coba habisi ia yang tak pernah surut nadinya

tapp!!
bangun aku berkawan peluh terkait tanya membukit
kuingat ceritera kawanku beberapa purnama lalu,
sepulang dari misa requiem melepas pergi seorang tokoh bangsa
ia berkisah tentangnya dengan mata penuh embun

mendesir darahku berpadu ingatan melilit jantung
manusia berwajah samudera, melekat erat hati kita
nyatanya ia adalah beliau, adalah engkau,

Romo.


Semarang – 2000

Kamis, 11 Maret 2010

Rabu Abu


Serupa wajah Yesus yang arif
katakan tentang mati raga
lakukanlah, tanpa munafik
letak kepalsuan meraja.

Berbekal ayat suci
ajak kami minyaki
kepala, dan cuci
wajah ini.

"Mari belajar menyangkal diri,
doa, pantang, puasa,
tanpa munafik,"

tanpa munafik.

Kau beranjak pergi
dibalut jubah damai
sebarkan ajaran suci
sampai ke ujung bumi.

Salib abu di dahimu,
mengapa belum juga kau hapus?


Semarang,Peb'10

Ditindihi Gengsi


ini surat untukmu, sayang
tengoklah, aku ada dibelakang

ah. kau pergi melenggang
kepalang pulang


2010

Selasa, 02 Maret 2010

Diamlah Nak, di Balik Bangkai Ibu

revisi Hudan Hidayat atas Puisiku:'Bekal Dari Ibu'


mari nak, kemari
ibu ajari
cara berpura mati
bila saatnya nanti

serdadu Tuhan, datang
menyisir bangkai
kau, diamlah
di balik bangkai ibu

nasib itu
pasti, nak

meski mungkin
tiada semesta
tanpa Pencipta


Maret 2010