Rabu, 26 Agustus 2009

Belenggu


Kau lihat apa diatas sana?

Langit.

Warna apakah yang nampak?

Biru.

Ada apa lagi diatas sana?

Awan.

Warnanya?

Putih.

Indahkah bentuknya?

Tidak.

Mengapa tidak?

Silau.

Oh, ya? Bagaimana langit kau lihat diwaktu malam?

Gelap.

Lalu?

Kelabu.

Mengapa jika kutanya jawabmu hanya sepotong?

……

Mengapa?

Takut.

Takut?

Takut.

Oleh?

Dunia.



Semarang.300709

Pemenang Dunia

(…untuk seorang manusia di pinggir jalan Jatingaleh
dan mereka menyebutnya ‘orang gila’ )


duduk gembira pada sepiring dunia
bercanda tawa pada segala alam berasap
kerikil tajam penusuk surganya, memuai dalam keakraban
jadi sobat rekat bercengkerama dengan luka

aku iri pada damainya
karna nestapa pada pundakku, menyisakan luka bernanah
lelah kugaruk jalan panjang, tetap tak kutemukan
sepotong tawa dalam cawanku
seperti miliknya

aku cemburu karna riangnya menyayat tajam kicauku
kuikuti zaman dalam petang tubuh dekil, sambil kujilati aroma mimpi jingganya
berjalan tanpa beban ke ujung atmosfir bumi, ia tak peduli apapun menjauhi
hanya pancaran wajah tulus menyapa segala yang ia jumpa

dalam ribuan detik: telanjang tiada ia kedinginan,
sendiri tiada ia kesepian,
disakiti tiada ia terluka,
ia rangkul segala dingin, sepi, dan luka
dalam hangatnya secangkir bahagia yang ia racik

oh, inikah letak jarum keadilan
saat dunia direnggut darinya tak bersisa
Tuhan masih memberinya sepiring
mampu cairkan segala rantai yang telah jadi belenggu,
merdeka lepas dalam samudera baru
hingga ke waktu tak berujung



Semarang –2004

Terima Aku dalam Rumah Jiwamu


bawa aku masuk rumahmu
yang katanya gubuk orang sakit jiwa
tapi dimana letak dukanya
karna yang kutemui hanya kedamaian melulu

aku tak mau di luar sini
semua orang dinamai waras berotak lurus
tapi aku dalam kedinginan yang menggerus
sendiri berkalung takut yang menari
ikatan darah tak lagi kental dan kentara
kilatan libido mengepul sempurna kuasai mata menghitam
perkosa segala nafas kecil kemerdekaan yang murka
kematian terlalu sering melolong kelam
bungkam ribuan nyawa adalah pengabdian
otak berbau mesiu adalah mulia demi keadilan
berselimut cermin wajah Tuhan Sang Pemberi Hukuman
cambuk dan neraka digariskan bagi para penentang

lekas. Terima aku!dalam ruang pelangimu
dimana teriakan jadi tanda kebebasan
dan tangisan adalah tanda kebahagiaan
sebab wajah Tuhan indah tak tersapu
hadiah dan surga disediakan bagi siapapun



Semarang – 2004

Selasa, 25 Agustus 2009

Pada Ayah, Aku Mengerti


Kutahu. Seekor ranting jati cangkuli rasamu. Ribuan cahaya
hingga darah keluar dari dasar. Melarva
Lalu kau berontak mencari langit
sesaat. Kau temukan dalam kuntum mawar plastik
Kau pikir indahnya dari langit
Kira kau itu wangi dari langit
Kau pikir kira kau itulah langit
Dan. Ranting duri itu pula cangkuli asa. Mengikat lelahmu
hingga menjejal ruangmu, untuk bercinta pada bayangan kaktus
hingga juga kau bertanya menabik langit.
Dan. Temui kembali ranting jati, yang tlah lama beriku sari
Kau pikir derita maunya langit
Kira kau itu restu langit jadi jawaban
Kau pikir kira kau itulah langit
Kulihat. Jelitamu lepas satupersatu mengerucut
ranting jati masih cangkul habis dasar jinggamu jadi abu
Jawab lekas. Jika kuhabisi kuat dan kelam jati. Hingga musnah habis
akar getahnya. Dan kukatakan aku tak suka sarinya.
Akankah langit duduk disebelahmu. Untuk serukan kuatkuat
bahwa musim hijaumu akan segera subur

Dan. Kau tinggal segala hutan mengaum
Berjalan pada sebatang bambu bercahya petir bijak
sendiri. Bercengkerama dengan langit

tanpa ampun



Semarang – 2004

Apokaliptik


Binatangbinatang itu ‘kan peluk para bunga berapi, anakku
serta hujan, dan asap, dan angin, dan debu bersekutu jadi batuan beku
tak berhati nurani
dalam gempurannya, semuamua manusia mati lenyap mencari pelukan petir
lalu langit perkasa itu mematung, tersapu badai gelap tak bermata

tepat tengah malam nanti
Dia bisikkan itu padaku
tentang nasib kita,anakku
tunggulah sesaat lagi


baiknya semuamua manusia percaya berlindung dalam perahu kudus
tinggal pergi derita pilu, kemunafikan dan ketidakadilan yang melangit
lagi dan lagi siksa kerongkongan
segala isi kantong duniamu tak ada guna kini, juga pekerjaan
kian buatmu tertindas. Bawa lekas anak istri keluarga buyut,
semuamua
karna seonggok nyawa lebih berarti dari serakan harta. Segeralah anakku,
jangan tunggu hingga segala air laut kesepian itu selimuti bumi
dan melumatnya dengan birahi.

bergegaslah, sebelum tegah malam nanti
Dia serukan kuat padaku
tentang nasib kita, anakku
teguhkan hati karna itu pasti

bertekurlah pada lantai berpantul dosamu
tlah Dia tebus habis keegoisan manusia bumi. Kini gilirannya
aku, kau, semuamua ‘tuk serahkan tubuh berbalur jiwa.
Demi Dia.
Demi dunia.
Sebagai ganti Dia akan datang dan bertahta
dalam sinar berkilau-kilau cahaya,
bukankah kita ’kan ikut bersukacita kelak?

Hening. Tengah malam tadi lewat hari pagi
Dia membisu padaku
belum terjadi , anakku
belum ada tanda lagi


tapi orangorang tak percaya itu keburu mencibir kaku, keburu berbuah resah
lalu para penjaga keburuburu mengepung kita, anakku…dengan perlengkapan
yang seharusnya ditanggalkan
mereka tak tahu, bumi sedang bersekutu dengan bulan-matahari-bintang,
berbisikbisik tentang perilaku mereka, lalu menunggu saat tepat untuk mengerjai mereka

mengapa bukan tengah malam tadi kita binasa
atau Dia uji iman kita, anakku
nasib kita jelas pada torehan tanganNya
harus. Kita bersabar dan menunggu

keyakinanku sekeras batu karang, tak ‘kan mengembun oleh kuatnya debur jantung
ini nubuatNya, dalam tali suara surgawi berbentuk aku
telah tertulis rapih korban raga kita dalam setiap helai bening rambutNya
kita akan berbahagia bersama, anakku. Aku dapat lihat dan rasakan sangat.
Tidakkah kalian juga?

Lihat. Kini Dia datang dalam senyumNya
taburi warnawarni ribuan cahaya
datang selamatkan kita
tertawa menari karna kita cinta

Mari berbaring rebah dalam senyum seluas langit, hingga harapan dan damai
berangkulan nyanyikan bait-bait kebebasan yang pelangi
hingga sayap-sayap tangan terulur menggapai jubahNya yang seputih angin
jangan peduli korban darah-tangis-raga kita yang berseberangan dengan keindahanNya

Anakku,
lihat tanda itu


semua akan terjadi saat Dia menjemput kita
mari semuamua kita bersamasama terpejam
kelak jumpa lagi di suaka mega langit berumput hijau kemilau

rest in peace,
beristirahatlah dalam damai.



Semarang – 2004

Sekolah dalam Kaca


kumpulan remaja cantik tampan dalam tabung,
dengan balutan rekat seragam keren dan trendy
tak jelas untuk apa sekolah, belajar atau
cari kepuasan diri lewat penampilan
dalam persahabatan eye shadow-pensil alis-lipstick, dan
1 tube jelly pengusap rambut yang terbelalak jenuh
sebab percaya diri tumbuh dari situ, dalam bayang lekat
selebritis dunia
plus mobil dan sopirnya, sempurna
untuk dikagumi

guru adalah peran pembantu atau figuran
tanpa wibawa dan tak pernah bijak
gampang marah, lainnya selalu mengalah atau jadi kalahan
dalam dandanan heboh keluaran salon
tak jelas untuk apa jadi pendidik

masalah seharihari seputar protes dan berontak menantang hujan
pada rumah mewah yang kesepian, perhatian orang tua
berlarian kemana-mana
pada sekolah materialistis, berebutan cari lawan jenis ber-merk
kalau perlu berurusan dengan kepala sekolah, yang dahinya
ikut mengkerut tajam karna satu masalah penting :
ini soal rebutan pacar !

pulang sekolah bisa keluyuran, atau dugem,
atau sesenggukan di atas bantal bermata malas, atau
teriak mencari musuh yang adalah dirinya

tapi tebal buku hanya alas bagi kertas dan pena yang akrab bersekutu
untuk sebuah surat cinta dan siasat

gambaran ideal sekolah favorit disana, dengan siswa yang diberi honor
karna berhasil jadi topeng dan idola
hingga rating-nya membuncah naik, sedang semua manusia akil balik disini
membutuhkan tabung oksigen, untuk tetap hidup dan berjalan
di atas tanah tanpa merayap

aku tunggu gelisah,
diskusi tentang kehidupan dan debat ilmiah,
dari rangkuman hasrat, pikiran, dan tali suara yang bergandengan
dengan nurani berbalut tekad

bergulung cemas, aku melihat

mereka melenggang pergi dipandu dagu terangkat berduaan,
berpasang oleh tangan tak ragu terkait,
berselubung lagu cinta yang menjalar jemu
si tampan berjalan dalam perut kempis dada terbusung
si cantik sentiasa pamer lemak di pinggul yang menggigil
kesanakemari dengan luapan hati secerah rok di atas lutut,
berkibaran bangga, atas prestasi gemilang anak bangsa
kini tuntas diraih sudah :

menggaet senyum primadona sekolah.



Semarang - 2004

Pengusiran Sungai


apa yang kan kucerita tentangmu
gemericikmu tak terdengar sejak malam itu
kala ribuan nyawa setubuhi ragamu yang halus
hingga raunganmu tak lagi terasa pilu

apalagi kan kucerita tentangmu
segala air yang kau lindungi
tak mampu jernihi tubuh ranum milikmu
beningnya menghitam layu kini

apalagi yang kan kucerita tentang gejolakmu
bahkan kau kalah, oleh denyut kehidupan
membawamu berjalan menuju maut
siap menyelimuti manusia sekitar
dengan bencana dari murkamu

kau kalah, kau kalah, kau kalah, kau telah kalah
apalagi yang dapat kucerita tentang arusmu
harum butiran beningmu telah lama mati
mereka rampas keindahan dari mataku,
kemolekanmu tak lagi dapat kugenggam

aku hanya jijik dalam rayuanmu kini
kau hanyalah sungai tak bermakna
dekil dan bau mulutmu selalu menganga
tak pernah lagi ada kesegaran disana
ku telah mengendap, jadi bagian daratan sampah yang menggunung
sedang kau,
tak lagi mau membagi aliranmu
bawa warnamu padaku, lekaslah!
jangan.
jangan yang gelap itu,
aku bisa pusing cari-cari ikan dalam tubuhmu,
pasti tariannya sudah lama hilang.
juga bukan.
bukan warna pelangi kusam itu,
itu hanyalah tipuan plastik-kertas-racun,
menari riang mengejek ikan.

aku ingin yang waktu itu,
waktu kau menghalau para perahu ke tujuan
rasa gembira memeluk tubuhmu yang telanjang
dan terimakasih terus berdenyut tiada henti

aku ingin yang waktu itu,
waktu kau buatku terpana mereguk rindu
lalu tengadah menatap langit
dan syukur terus menjulang tiada batas

aku ingin yang waktu itu,
waktu kau dorong setiap hati mendekatimu
mencari-cari damai dari senyummu yang sejuk
dan karya terus bertumbuh tiada cela

nah,
bisakah kau bawa warnamu padaku.
ya benar, warnamu yang waktu itu.
waktu itu,
yang aku ingin.

kulihat kau menggeleng getir,
dan kulihat aku tertunduk kecewa,
maafkan aku.
aku bukanlah manusia setia, juga
tak ada alasan untuk bersahabat pada
air mata yang keruh itu
maafkan aku.

kau telah kalah, tak mampu dan hampir mati
kau terpandang hina, tak berguna.
kau hanya sebuah keranjang sampah,
mengotori bait karyaku,
mencemarkan pelangi di anganku.

maka, maafkan aku.

aku tak membutuhkanmu lagi
untuk puisiku,
karna tak ada yang mampu kuceritakan tentang mu
pergilah..



Semarang, 2005